Chapter 2 : WHO IS HE?
Seorang pria dengan perawakan tinggi tegap dengan rahang yang terlihat
tegas turun dari mobil mewahnya dan mulai menginjakkan kakinya di kota
metropolitan terbesar kedua di California. Ya, Pria 32 tahun tengah berada di
Los Angeles. Kakinya memasuki sebuah tempat hiburan malam yang sudah lama tak
ia kunjungi semenjak memutuskan untuk pindah ke Manhattan. Racikan musik yang
dihasilkan oleh DJ langsung menyambut telinganya dengan suara menggelegar.
Lantai dansa penuh dengan orang-orang yang sedang melupakan masalah-masalahnya,
menggoyangkan badan mengikuti alunan musik. Satu pria bernama Jafar setia
berjalan disamping kirinya memintanya untuk naik ke lantai dua melalui sebuah
tangga. Sesampainya dilantai dua, suara musik tak terdengar sebising dibawah.
Nampak sekumpulan orang yang sedang bermain judi. dia duduk menyilangkan
kaki dengan tatapan angkuhnya. Ikut dalam permainan, bertaruh dalam jumlah yang
besar.
Wajahnya tetap tenang walaupun dia mengetahui sudah kalah berjudi
untuk kedua kalinya dalam jumlah yang besar. Daratan Los Angeles sudah
menunjukan waktu dini hari, tapi dua lelaki itu masih betah mendudukan diri
dimeja judi. Bukan masalah besar dengan kekalahan yang sudah dua kali dia
terima. Itu bukan kekalahan karena kebodohannya, tapi kekalahan yang dia atur
dengan sendirinya. Ya, tempat ini adalah miliknya, tentu saja permainannya
menggunakan tipu daya atas seizinnya. Mengambil rokok dan menyalakannya menggunakan
pematik. Tangannya yang lain mengambil gelas berisi cocktail yang telah
dibawakan bartender. Tak lama terdengar suara dering telepon Jafar membuat
kepalanya menoleh.
"Lucas," kata Jafar memberitahu. Pria itu hanya
memberikan anggukan sebagai sebuah jawaban, tanda mengizinkannya untuk
mengangkat telepon.
Setelah mengangkat telepon dan mendengarkan dengan seksama sang
lawan bicara disebrang sana, Jafar hanya menganggukkan kepala sebagai respon
lalu menyimpan kembali ponselnya pada saku celana. Jafar mendekatkan dirinya
kepada pria berusia tiga puluh dua tahun yang sedang mematikan rokoknya didalam
asbak yang tersedia, "Kau tahu mengenai Lucas Marteen?" tanyanya
tepat ditelinga sang lawan bicara.
"Hm ... pendatang dari Sisilia, right?"
"Ya, dia menolak membayar komosi."
"Setelah menolak bekerjasama dengan kita dia menolak untuk
membayar komisi?" Tanyanya setelah mengingat lebih jauh siapa itu Lucas
Marteen.
"Ya.” Jawab Jafar turut membenarkan. “Sampai kapanpun mereka
tidak akan pernah menerima tawaran itu," sambungnya.
Alih-alih menanggapi dengan sebuah jawaban, dia hanya mengedikkan
kedua bahunya acuh. Seolah menjelaskan bahwa penolakkan itu bukan berarti
apa-apa untuknya. Dia hanya menginginkan kaki tangan yang baru untuk
menyebarluaskan bisnis gelapnya secara merata. Pikirnya di daerah Sisilia
bisnisnya belum sebesar itu. Seperti yang dunia tahu bahwa Lucas Marteen
hanyalah bocah kemarin sore yang pengalaman dan kekuatannya tak seberapa.
Lagipula, pendatang dari Sisilia memegang teguh sebuah prinsip untuk tetap menolak
bekerjasama dengan non-Italia dan kurang percaya dengan orang-orang
non-Sisilia.
"Apakah harus melakukan sesuatu untuk membuatnya sedikit
jera?"
Membangkitkan dirinya dari kursi dan beralih pada meja lain di
sudut ruangan diikuti oleh Jafar. Kembali mendudukkan diri setelah dirasa
keadaan aman. Dia banyak tidak mengenal orang-orang disini, dia hanya mencari
aman saja.
"Tentu." Senyum meremehkan langsung tercekat diwajah
tampannya yang angkuh. "Dia sedang mengibarkan bendera perang, maka kita
harus memberinya sedikit pelajaran." Nadanya juga terdengar meremehkan.
Menganggukan kepalanya pelan sebagai jawaban bahwa Jafar paham
dengan apa yang disampaikan sang sahabat yang merangkap menjadi bosnya.
"Lakukan sedikit kekacauan didaerahnya. Mencuri gudang
persediaan senjatanya juga bukan masalah yang besar."
Jafar langsung mengerutkan keningnya bingung. "Gudang
persediaan senjata mana yang kau maksud?"
Matanya langsung bersitatap dengan Jafar untuk menuntut
sebuah penjelasan lebih lanjut.
"Mereka baru memulai bisnis dibidang narkotika ini belum lama.
Itupun barang dagangan utama mereka hanya ganja. Penjualannyapun hanya
seper-enam penjualan kita dalam sebulan. Anggotanya berjumlah sedikit. Mereka
kerap kali berpindah-pindah tempat, terlebih lahan ganjanya kemarin baru saja
dibakar habis oleh aparat. Belum apa-apa DEA (Drug Enforcement Administration)
sudah mencium sepak terjangnya. Jadi, gudang senjata mana yang kau
maksud?"
Informasi itu belum sampai pada telinganya. Tahu begitu dia tidak
akan mengajaknya bekerjasama. Dalam skala kecil saja sudah terciduk.
"Amatir, right?"
"Ya. Kau bisa menganggapnya begitu."
Memang begitu pada kenyataannya.
Secara nilai ganja memang terhitung aman secara bisnis. Cocok untuk
kelompok kecil seperti Lucas, sekelompok bocah ingusan yang amatiran.
"Daripada membuang tenaga dan waktu secara tidak jelas lebih
baik urus saja perkembangan kasino di San Diego. Beberapa orang terpercaya akan
datang besok, mereka adalah orang-orang utusan Ayahmu. Aku akan meminta Julio
untuk mengurus masalah lucas."
Setiap kali melihat peluang besar untuk melancarkan bisnisnya
semakin bersinar, lelaki berusia tiga puluh dua tahun itu akan mengambil
langkah cermat untuk sebuah keuntungan besar. Media secara kompak meyiarkan
tayangan sebuah berita yang berisi tentang institusi pemerintahan yang
melakukan korupsi secara gila-gilaan. Dari sana dia mendapatkan sebuah peluang
yang menjanjikan banyak keuntungan untuk bisnisnya.
"Kita akan kembali ke Manhattan minggu depan. Kuharap kau
menyelesaikan semua urusan dalam waktu satu minggu."
"Hm."
"Bagaimana perkembangan kasino di California?"
"Belum semua kasino memakai mesin slot milik kita."
"Apa satu minggu cukup untuk itu?"
"Kurasa kurang dari satu minggu sudah selesai. Sisanya aku
akan memeriksa perkembangan Club. Laporan keuangannya akan aku serahkan
besok."
"Kuharap orang-orang yang akan datang besok adalah orang-orang
yang cerdik."
"Ayahmu tidak akan salah memilih. Mereka sudah lama bekerja
dengan Ayahmu."
"Kuharap begitu, supaya mereka bisa membantumu. Kau pastikan
semua kasino didaratan California memakai mesin slot milik kita."
"Ya. Apa kita bisa pulang sekarang?"
"Baiklah."
Mereka berjalan berdampingan melewati meja yang sejak awal mereka
duduki untuk bermain judi. Salah satu dari mereka berteriak, "Hey, Bung.
Apa kau menerima kekalahan lagi untuk ketiga kalinya tanpa bermain sampai
selesai?"
Tapi kalimat itu hanya angin lalu yang seolah tidak berhak mendapat
tanggapan serius. Dalam satu permainan Sembilan belas milyar uangnya hilang
begitu saja. Sekarang dia menerima kekalahan yang ketiga kalinya? Sontak itu
membuat orang-orang merasa heran.
Menuruni tangga dan membelah kerumunan orang-orang yang sedang asik
bersenang-senang seolah besok mereka akan menemui ajal saja.
Melewati bartender yang membungkukan sedikit badannya sebagai rasa
hormat kepada pemilik tempatnya bekerja. Sontak saja kejadian itu mengundang
Tanya dari perempuan yang memakai pakaian alakadarnya. Sissy, namanya.
"Who is he?" tanyanya kepada bartender yang sedang
meracik minuman untuknya.
"Pemilik tempat ini, Jeffrey Hill Desimone."
Mata wanita itu tetap tertuju pada badan tegap lelaki bernama
Jeffrey Hill Desimone itu.
"Wah ... tidak hanya tampan, tapi juga kaya ternyata."
"Kemarin malam dia memenangkan 1 million dollar dalam
permainan judi, tapi tak membawa pulang uangnya."
"Saat dia datang kemari, aku mendekatinya, tapi dia memintaku
untuk segara enyah dari hadapannya." Keluh wanita itu pada sang bartender.
"Ya, selama dua tahun aku bekerja disini, aku belum pernah
melihatnya menggandeng wanita, dia juga tidak pernah mau didekati oleh
wanita-wanita yang disediakan ditempat ini, dia juga tidak pernah terlihat
menggunakan jasa mereka."
"Apa dia sudah memiliki kekasih? Atau seorang istri?"
"Aku hanya karyawannya, tidak ada hak untuk mencampuri urusan
pribadinya."
Wanita itu mendesah sebal mendengar jawaban sang bartender.
"Aku tidak pernah mendengar berita semacam itu, tapi aku
selalu mendengar berita bahwa dia adalah salah satu pengusaha muda yang sukses.
Selama enam tahun berturut-turut dia dinobatkan sebagai pengusaha tersukses di
Amerika. Kupikir, kekayaannya tercium hingga keseluruh pelosok negeri. Baginya
berjudi hanya untuk mengisi waktu luangnya saja atau mungkin hanya untuk sebuah
hiburan. Kau tau mengenai Desimone group? Desimone Hospital? Desimone
University? Itu semua adalah miliknya."
"Wah ... kalau aku menjadi istrinya, aku akan mandi uang
setiap harinya. Sumber uangnya dari segala sudut." Katanya sambil
membayangkan dia menjadi seorang ratu di istana Desimone. "Apa kapal
pesiar bertuliskan Desimone juga adalah miliknya?" Katanya bertanya dengan
nada heran.
"Ya, benar. Darimana kau tahu?"
"Aku pernah bekerja disana, tapi tidak lama."
Berhasil. Itulah tujuan Jeffrey Hill Desimone yang kerap kali
disapa dengan sebutan Jeff. Menciptakan bisnis fiktif yang keuntungannya
berjalan beriringan dengan bisnis hitam yang kerap kali ia sembunyikan. Melepas
salah satunya tidak akan membuanya jatuh miskin. Bisnis fiktif yang sengaja dia
ciptakan tanpa diduga-duga akan berada dipuncak kesuksesan seperti saat ini tak
bisa dia lepas begitu saja. Dibalik keuntungan yang menjanjikan, banyak sekali
prestasi yang sudah dia toreh dari kerja kerasnya di Desimone Group. Cabangnya
sudah dimana-mana, kalau dia melapasnya, kerugian yang tak sedikit akan ia
terima. Jeff tidak mau itu terjadi. Melindungi semua aset berharganya sangat
penting. Melindungi bisnis hitamnya juga sama penting untuknya. Dia tidak bisa
memilih salah saunya. Otaknya terkenal cerdik, tak heran dia memiliki ratusan
ribu pelanggan yang tersebar diseluruh daratan Amerika.
"Apalagi yang kau tau tentangnya?" Tanya wanita itu
kembali, wajahnya berbinar-binar seolah-olah besok dia akan dinikahi oleh Jeff.
"Kudengar juga setelah meninggalkan uang senilai I million
dollar dari hasil judi dia membeli property dibeberapa kota keesokan harinya,
yang kutahu salah satunya di Chicago."
"Jeffrey Hill Desimone." Kata wanita itu menggumamkan
nama Jeff sambil memegang gelasnya dan kembali kepada teman-temannya untuk
bersenang-senang.
Jeff menginjakkan kakinya diluar tempatnya menghabiskan malam. Jam
sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Seorang perempuan berpenampilan lusuh nampak
sedang berbincang dengan salah satu bodyguardnya. Dia terlihat memohon untuk
sesuatu yang tidak diketahui apa. Mobil yang ditunggunya sudah datang tapat
didepan matanya. Awalnya Jeff berpikir bahwa dia hanya gadis gila yang tengah
diputuskan kekasihnya, tapi pemandangan Dengan jarak tiga langkah itu cukup
untuk menarik perhatiannya. Berhenti sejenak, mengabaikan sang sopir yang sudah
membukakan pintu untuknya. Gadis itu terlihat mengusap air matanya dan
menyudahi pembicaraannya dengan sang bodyguard. Dia mengambil langkah hendak
menuju mobil yang sudah dibukakan pintunya sedari tadi. Tak pernah disangka
sebelumnya bahwa gadis itupun mengambil langkah cepat hingga menabrak Jeff.
Mata sembabnya menatap orang yang telah dia tabrak. "Maaf," katanya.
Suaranya lirih terdengar perih. Matanya telah berembun lagi, hidungnya sudah
sangat memerah, pipi gembilnya juga ikut memerah. Tak ada satu katapun yang
keluar dari mulut Jeff, matanya tetap terpaku pada gadis yang belum dia ketahui
namanya, tangannya tetap berada disaku celananya, mata tajamnya mengintimidasi
perempuan yang sudah nampak kalut. Menyadari bosnya sudah keluar, sang
bodyguard memberi sedikit hormat. Gadis tanpa nama itupun pergi dari hadapannya
dengan mengucapkan maaf untuk yang kedua kali. Sedangkan Jeff hanya menanggapi
dengan acuh tak acuh. Wajahnya masih saja tetap datar.
Komentar
Posting Komentar